Minggu, 28 April 2013

Karakter Studi Islam


KARAKTER STUDI ISLAM

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Pengantar Studi Islam (PGMI-2B)
Dosen Pengampu: M. Rikza, M.SI.



Disusun oleh:
Khusnul Kholifah                           (103611007)
Dwi Mahmudah                              (123911043)
Iffa Qorri Aina                               (123911052)
Kholifah Istiqomah                         (123911056)
Mughfiroh                                       (123911069)





FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.          PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Aktivitas pendidikan Islam telah dimulai sejak adanya manusia (Nabi Adam dan Hawa) di dunia ini. Ayat Al-Qur’an yang pertama kali di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah iqra’, yang merupakan kunci dari aktivitas pendidikan, Muhaimin (2011).
Islam memiliki ajaran yang khas dalam bidang pendidikan. Islam memandang bahwa pendidikan adalah hak bagi setiap orang (Education for All), laki-laki atau perempuan, dan berlangsung sepanjang hayat (Long Life Education).[1]
Karakteristik pendidikan Islam berpengertian sebagai ciri-ciri khusus yang membedakan pendidikan Islam dengan sistem pendidikan lainnya. Identitas yang membuat sistem pendidikan tersebut dapat membangun manusia seutuhnya, seimbang antara jasmani dan rohani, siap untuk menjadi manusia unggul dalam menghadapi kehidupan dunia dan akhirat. Ciri yang membuat manusia semakin dekat dengan penciptanya.
Selama ini kita sudah mengenal Islam khususnya pada lingkup pendidikan. Akan tetapi, Islam dalam potret yang bagaimanakah yang kita kenal itu, nampaknya masih merupakan suatu persoalan yang perlu didiskusikan lebih lanjut.[2]

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, ada beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah karakteristik studi Islam perspektif Al-Quran?
2.      Bagaimanakah karakteristik studi Islam perspektif Hadits?
3.      Bagaimanakah karakteristik studi Islam perspektif Hukum Islam?
4.      Bagaimanakah karakteristik studi Islam perspektif Sejarah Islam?

II.       PEMBAHASAN
1.      Studi Al-Quran
Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Al Qur’an dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Al Qur’an dan Al-Sunnah.
Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian Al Qur’an baik dari segi bahasa maupun istilah. Asy-Syafi’i misalnya mengatakan bahwa Al Qur’an bukan berasal dari akar kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan memakai kata hamzah. Lafal tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara itu Al-Farra berpendapat bahwa lafal Al Qur’an berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang berarti kaitan; karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat Al Qur’an itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya, Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafal Al Qur’an diambil dari akar kata qarn yang berarti menggabungkan suatu atas yang lain; karena surat-surat dan ayat-ayat Al Qur’an satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan.
Manna’ al-Qathhthan, secara ringkas mengutip pendapat para ulama pada umumnya yang menyatakan bahwa Al Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan dinilai ibadah bagi yang membacanya. Pengertian yang demikian senada dengan yang diberikan Al-Zarqani.

a.       Pengertian Ulumul Qur’an
Secara Etomologi Ulum Al Qur’an terdiri dari dua kata yaitu Ulum dan Al Qur’an. Ulum adalah jamak dari al-‘ilm yang berarti ilmu, maka ulum berarti ilmu-ilmu. Sedangkan kata Al Qur’an secara harfiyah berasal dari kata qara’a yang berarti membaca atau mngumpulkan. Kedua makna ini mempunyai maksud yang sama, membaca berarti juga mengumpulkan, sebab orang yang membaca bekerja mengumpulkan ide-ide autau gagasan yang terdapat dalam sesuatu yang ia baca. Maka perintah membaca dalam Al Qur’an, seperti yang terdapat diawal surat Al ‘Alaq, bermakna bahwa Allah menyuruh umat Islam mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat dialam raya atau dimana ssaja, dengan tujuan agar si pembaca melalui gagasan, bukti atau ide yang terkumpul dalam pikirannya itu, memperoleh suatu kesimpulan bahwa segala yang ada ini diatur oleh Allah.[3]
Berdasarkan penelitian sebagian ahli ilmu, yang dapat kita katakan Ulumul Qur’an ialah ilmu-ilmu yang ada hubungannya dengan Al Qur’an dari segi hidayah atau segi i’jaz.[4]
Jadi, Ulumul Qur’an secara istilah bermakna “Segala ilmu yang membahas tentang kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang berkaitan dengan turun, bacaan, kemukjizatan, dan lain sebagainya”. Ash Shabuni mendefinisikan Ulumul Qur’an itu kepada “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al Qur’an dari aspek turun, pengumpulan, susunan, kodifikasi, asbab an nuzul, al makki wa al madani, pengetahuan mengenai an nasikh dan al mansukh, muhkam dan mutasyabih dan lain sebagainya, segala pembahasan yang berkaitan dengan Al Qur’an”.[5] Menurut Az Zarqoni Ulumul Qur’an adalah “Kajian-kajian yang berhubungan dengan Al Qur’an, dari aspek turun, susunan, pengumpulan, tulisan, bacaan, tafsir, mukjizat, nashikh dan mansukh, menolak subhat darinya, dan lain-lain”.[6] Jadi, apa saja ilmu yang berkaitan dengan Al Qur’an adalah termasuk dalam perbincangan Ulumul Qur’an.[7]
b.      Ruang Lingkup Kajian Ulumul Qur’an
Definisi di atas menggambarkan bahwa Ulumul Qur’an mencakup bahasa yang sangat luas, antara lain nuzul Al Qur’an, asbab al nuzul, ilmu an nasikh wa al mansukh dan ilmunya fawatikh as-suwar serta masih banyak yang lainnya. Karena begitu luasnya cakupan kajian Ulumul Qur’an, maka para ulama harus mengakhiri definisi yang mereka buat dengan ungkapan “dan lain-lain”. Ungkapan ini menunjukan, kajian Ulumul Qur’an tidak hanya hal-hal yang disebutkan dalam definisi itu saja, tetapi banyak hal yang secara keseluruhan tidak mungkin disebutkan dalam definisi. Ibnu Arabi (w 554 H), seperti yang dikutip oleh Az Zarkasyi, menyebutkan, Ulumul Qur’an mencakup 77.450 ilmu sesuai dengan bilangan kata-katanya.[8] Hal itu sesuai dengan pendapat sebagian kaum salaf, yang melihat bahwa setiap kata dalam Al Qur’an mempunyai makna lahir dan batin, selain itu terdapat pula hubungan-hubungan dan susunannya. Maka dengan demikian, ilmu ini tidak terkira banyaknya dan hanya Allah sajalah yang mengetahuinya secara pasti.
Dari sekian banyak cakupan Ulumul Qur’an, maka yang menjadi induk atua fokus utamanya adalah tauhid, tadzkir (peringatan), dan hukum. Tauhid mencakup banyak hal, antara lain pengetahuan tentang yang termasuk dalam tadzkir adalah al-wa’d (janji balasan kebajikan), al-wa’id (janji ancaman), surga dan neraka serta penyucian lahir dan batin. Sedangkan hukum mencakup beban (takalif) berupa perintah, larangan, hal yang bermanfaat, dan hal-hal yang dapat mendapat mendatangkan kemudaratan.
Secara garis besar Ulumul Qur’an itu dapat dikatagorikan menjadi dua macam, yaitu ilmu-ilmu yang diistinbathkan dari Al Qur’an, yang kemudian dapat dipedomani oleh manusia dalam menjalani kehidupan ini. Termasuk dalam kategori ini, misalnya ilmu fiqh, ushul, tafsir, balaghah, kaidah-kaidah bahasa, aqidah, akhlak, dan sejarah. Dan yang kedua, ilmu-ilmu yang menjadi syarat atau alat untuk memahami Al Qur’an. Yang dimaksud dengan istilah Ulumul Qur’an dalam kajian ini adalah yang terakhir ini. Hal tersebut mencakup antara lain sebagai berikut.
1.      Ilmu nuzul Al Qur’an. Kajian ini mencakup penyampaian Al Qur’an dari Allah kepada Nabi Muhammad, Al makki wa al madani, ayat paling awal dan paling akhir diturunkan, ayat yang turun di malam hari (al lailiyah), yang turun di waktu siang (al mahariyah), ayat yang turun dalam perjalanan, ayat yang turun ketika Nabi SAW berada di tempat tingalnya, ayat yang turun ketika Nabi berada dalam perjalalanan dan ayat yang berulang kali turunnya.
2.      Ilmu qiro’ah. Hal ini mencakup cara memulai bacaan; membaca wakaf, mad, idghom, dan lain sebagainya. Termasuk juga dalam kajian ini perbedaan para ulama dalam membacanya; ada bacaan yang mutawatir, ahad, masyhur, dan syazz.
3.      Kajian tentang makna Al Qur’an yang berhubungan dengan hukum, seperti lafal ‘am yang tetap dalam keumumannya, ‘am yang telah ditakhsikan, manthuq, mafhum, muthlaq, mukayyad, dan lain sebagainya.
4.      Kajian tentang makna Al Qur’an yang berkaitan dengan lafal, seperti ‘ijaz, ithnab, musawa, qashor, dan lain-lain.
Dengan demikian, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Ulumul Qur’an itu mencakup ilmu-ilmu bahasa Arab dan segala kajian yang berkaitan dengan ajaran Islam. Bahkan As Sayuthi berpendapat, bahwa ilmu jiwa, ilmu falak, ilmu astronomi, dan lain sebagainya juga termasuk Ulumul Qur’an. Hal itu didasarkan kepada firman Allah.
QS. An Nahl: 89,
tPöqtƒur ß]yèö7tR Îû Èe@ä. 7p¨Bé& #´Îgx© OÎgøŠn=tæ ô`ÏiB öNÍkŦàÿRr& ( $uZø¤Å_ur šÎ/ #´Íky­ 4n?tã ÏäIwàs¯»yd 4 $uZø9¨tRur šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uŽô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ  
“(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”

2.      Studi Hadits
Kedudukan Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti Hadits, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian Al-Sunnah seperti ini sejalan dengan makna Hadits Nabi yang artinya: ”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakannya; dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya”.
Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli Hadits mengartikan Al-Sunnah, Al-Hadits, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Al Qur’an, Al-Sunnah memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan Al Qur’an. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Al Qur’an :
1.      Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;
2.      Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
3.      Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula isyarat Al Qur’an yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Al Qur’an yang selanjutnya diserahkan kepada Hadits nabi.
Berikut ini ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Hadits;
1)      Ilmu Rijal al-Hadits
Ilmu ini sangat penting kedudukanya dalam lapangan ilmu Hadits. Hal ini karena, sebagaimana diketahui bahwa obyek kajian Hadits pada dasarnya ada dua hal, yaitu matan dan sanad. Ilmu Rijal ini lahir bersama-sama dengan periwayatan Hadits dalam Islam dan mengambil porsi khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan disekitar sanad.
Di antara kitap yang paling tua yang menguraikan tentang sejarah para perawi thabaqat adalah karya Muhammad ibn Sa’ad (w 9.230 H) yaitu Thabaqat Al-Kubra dan karya Khalifah ibn Ashfari (w 240 H) yaitu Thaqabat Al-Ruwwah, dan lain-lain.
2)      Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil             
Ilmu Al-Jarh, yang secara bahasa berarti “luka, cela, atau cacat”, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitanya. Adapun informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu:
a.       popularitas para perawi dikalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai seorang yang adil, atau rawi yang mempunyai aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilanya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan keadilanya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b.      berdasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi yang lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta’dilkan seorang rawi lain yang belum terkenal keadilanya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatanya bisa diterima.
3)      Ilmu Tarikh ar-Ruwah
Ilmu tarikh ar-ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para perawi Hadits yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap Hadits. Dengan ilmu ini akan diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahiranya, wafatnya, guru-gurunya, siapa orang   yang meriwayatkan Hadits darinya, dan lain-lain.
Sebagian dari ilmu Rijal Hadits, ilmu ini mengkususkan pembahasanya secara mendalam pada sudut kesejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan. Jadi ilmu tarikh ar-ruwah ini merupakan senjata yang ampuh untuk mengetahui keadaan rawi yang sebenarnya, terutama untuk membongkar kebohongan para perawi.
4)      Ilmu ilal al-Hadits
Kata ‘ilal adalah bentuk jama’ dari kata “al-‘illah”, yang menurut bahasa berarti ‘al-maradh’ (penyakit atau sakit). Menurut muhaddisin, istilah ‘illah berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya Hadits. Akan tetapi yang kelihatan adalah kebalikannya yakni tidak terlihat adanya kecacatan.
Menurut Al-Hakim, ilmu ‘illah Hadits ialah ilmu yang berdiri sendiri, selain dari ilmu shahih dan dha’if, jarh dan ta’dil. Ia menerangkan ‘illat Hadits yang tidak termasuk kedalam pembahasan jarh, sebab Hadits yang majruh adalah Hadits yang gugur dan tidak dipakai. ‘illat Hadits banyak terdapat pada Hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang kepercayaan sesuatu Hadits yang padahal mempunyai ‘illat, akan tetapi ‘illat itu tersembunyi. Karena ‘illat tersebut maka Haditsnya disebut Hadits ma’lul.  Karena ‘illat tersebut menyebutkan, bahwa dasar penetapan ‘illat Hadits, adalah hafalan yang sempurna, pemahaman yang mendalam dan pengetahuan yang cukup.
5)      Ilmu an-Nasikh wa al-Masukh
Yang dimaksud dengan ilmu al-nasikh wa al-masukh disini, adalah terbatas disekitar nasikh dan mansukh pada Hadits. Kata al-naskh menurut bahasa mempunyai dua pengertian, al-izalah (menghilangkan) seperti nashakhati al-syamsu al-zhilla (matahari menghilangkan bayangan) dan an-naql (menyalin) seperti   nasakhtu al-kitab (aku menyalin kitab) yang berarti saya salin isi suatu kitab untuk dipindahkan ke kitab lain.
Mengetahui ilmu ini sangat penting dalam ilmu Hadits ini. Bahkan menurut Al-Zuhri, ilmu inilah yang paling banyak menguras energi para ulama dan fuqaha. Hal ini karena tigkat kesulitanya yang tinggi, terutama dalam melakukan istinbat hukumnya dari nas yang samar-samar.  Untuk mengetahui nasakh dan mansukh ini bisa melakukan beberapa cara, seperti:
a.       dengan penjelasan dari nash syari’ sendiri, yang dalam hal ini ialah Rasul SAW.
b.      dengan penjelasan dari para sahabat.
c.       dengan mengetahui tarikh keluarnya Hadits serta sebab wurud Hadits. Dengan demikian akan diketahui mana yang datang lebih dulu mana yang datang kemudian.
6)      Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
Kata asbab adalah jama’ dari sabab. Menurut ahli bahasa  diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran, yang artinya dijelaskan sebagai: “segala yang menghubungkan satu benda dengan benda lainya”.
7)      Ilmu Garib al-Hadits
Menurut Ibnu Al-Shalah, yang dimaksud dengan Gharib Al-Hadits ialah ungkapan dari lafazh-lafazh yang sulit dan rumit untuk dipahami yang terdapat dalam matan Hadits karena (lafazh tersebut) jarang digunakan.
Memahami makna kosa kata (mufradat) matan Hadits merupakan langkah pertama dalam memahami suatu Hadits dan untuk istinbath hukum. Oleh karena itu ilmu ini akan banyak menolong untuk menuju ke pemahaman tersebut. Ada beberapa cara untuk menafsirkan Hadits-Hadits yang mengandung lafazh yang gharib ini, di antaranya:
a.       dengan Hadits yang sanadnya berlainan dengan matan yang mengandung lafazh gharib tersebut.
b.      dengan penjelasan dari para sahabat yang meriwayatkan Hadits atau sahabat lain yang tidak meriwayatkanya, tapi paham akan makna gharib tersebut.
c.       penjelasan dari rawi selain sahabat.
8)      Ilmu at-Tashif wa at-Tahrif
Ilmu at-Tashif wa at-tahrij, adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menerangkan tentang Hadits-Hadits yang sudah diubah titik atau syakalnya (mushahhaf) dan bentuknya (muharraf).
Al-Hafidz ibn Hajar membagi ilmu ini menjadi dua bagian yaitu ilmu al-tashif dan ilmu al-tahrif. Sedangkan ibn Shalah dan para pengikutnya menggabungkan kedua ilmu ini menjadi satu ilmu. Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin ilmu yang bernilai tinggi, yang dapat membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffazh). Hal ini disebabkan, karena dalam hafalan para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengaran yang diterimanya dari orang lain.
Suatu contoh, dalam suatu riwayat yang disebutkan bahwa salah seorang yang meriwayatkan Hadits dari Nabi SAW, dari bani Sulaimah adalah “Utbah ibn Al-Bazir, padahal yang sebenarnya adalah “Utbah bin Al-Nazhr”. Dalam Hadits ini terjadi perubahan sebutan Al-Nazhr menjadi Al-Bazr.

3.      Studi Hukum Islam
Umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air misalnya, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telah penting di masa datang.
Era tahun 1930-an sampai sekarang ini merupakan masa kebangkitan kembali intelektualitas di dunia Islam. Kemerdekaan negara-negara muslim dari kolonialisme Barat turut mendorong semangat para sarjana muslim dalam mengembangkan pemikirannya tentang perkembangan hukum Islam masa kini atau kontemporer.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Supaya hukum Islam berkembang menjadi lebih baik.

a.         Hukum Islam dalam sebuah negara bangsa
Setiap sistem hukum menyatakan bahwa orang-orang yang terikat dengan hukum tersebut harus bersedia mengakui otoritasnya. Selain itu mereka juga mengakui bahwa hukum tersebut mengikat mereka, begitu juga dengan hukum Islam juga dengan hukum dalam suatu negara bangsa. Secara umum ada dua pandangan dalam penerapan hukum Islam dibawah ketentuan negara-bangsa (nation-state).
Pandangan pertama ialah mengedepankan cara akomodatif, yaitu bangunan hukum Islam diubah sesuai dengan paradigma modern. Artinya hukum Islam yang semula lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional yang bersifat kelompok, sehingga anggota komunitasnya diikat berdasarkan identitas, etnis, agama, keluarga atau yang lain sebagainya.
Keseluruhan paradigma hukum Islam tradisonal tersebut diubah dengan sisitem keseluruhan yaitu sistem yang mana masyarakat berada dalam sebuah sistem yang konstitusional negara-bangsa bahkan tatanan hukum internasional.[9] Oleh karena itu, keputusan dan praktik hukum Islam harus didasarkan pada alasan-alasan rasional. Jadi, seluruh warisan hukum Islam adalah baku, begitu juga dengan hukum-hukum pada awalnya seperti hukum adat dan lain sebagainya dalam hukum nasional.
Lalu paradigma kedua adalah dengan mempetahankan paradigma hukum Islam semula mendesaknya masuk dalam sistem hukum modern, baik secara ideologis maupun  praktis. Idelogis dalam arti menggantikan sistem negara bangsa. Kewarganegaraannya berdasarkan keseragaman agama, yaitu Islam sebagai sistem yang formal. Jadi hukum modern hanya bertugas menerapkan hukum yang sudah jadi tersebut.
b.         Hukum Islam, hukum barat, dan hukum adat
Agama Islam pada awal mulanya dipeluk oleh kaum masyarakat yang memiliki tradisi sosial dan hukum sendiri-sendiri. Dan masing-masing mempunyai tradisi sendiri-sendiri yang diwariskan dari para pendahulunya dalam rentang jangka waktu yang lama.  Karena menerima Islam sebagai agama mereka maka secara otomatis secara prinsip juga mengakui otoritas hukum Islam.[10]
Walaupun secara teoritik, hukum mencakup setiap cabang dan hubungan sosial, namun dalam praktiknya banyak sekali aspek kehidupan yang kehidupan yang masih terabaikan. Hukum Islam pada masa modern kurang berpengaruh dibandingkan hukum eropa/barat. Kelompok-kelompok modernis seringkali mengambil sikap barat dalam menghadapi permasalahan-permasalahan hukum Islam. Namun hingga saat ini mungkin hanya Arab Saudi dan sampai batas tertentu Afghanistan yang tetap melestarikan hukum Islam yang lama. Namun, terdapat satu bidang yang tetap mempertahankan tatanan hukum Islam, yaitu bidang yang berhubungan dengan hubungan perorangan (ahwal al-syakhsyiyyah) seperti perakwinan, waris, perceraian dan lain sebagainya.
Permasalahan muncul di negara-negara lain ketika timbul adanya dua macam hukum yang sama-sama berlaku dan  berinteraksi, yaitu hukum barat dan hukum Islam. Hukum barat telah berhasil dicernakan di berbagai daerah Islam. Jika pada mulanya mereka tidak terusik dan terganggu namun lama-kelamaan pada masa berikutnya terjadi kesesuaian dengan temperamen penduduk muslim. Penentangan terhadap barat disuarakan oleh ahli hukum Islam.[11]
c.         Ijtihad kolektif tren dalam hukum Islam modern
Modernisasi atau juga bisa disebut zaman sekarang yang dimulai dari proyek industrialisasi telah membawa dampak yang luar biasa pada peradaban manusia. Komplektisitas masalah modern sulit dijawab oleh seorang pakar hukum Islam tetapi perlu bantuan pakar yang lain. Dengan kolektivitas ulama kultus individu tidak dapat dihindari karena masing-masing ulama mempunyai kekurangan dan kelebihan yang saling melengkapi. Kesepakatan bersama inilah yang kemudian hari disebut sebagai ijtihad kolektif (ijtihad jama'i) yang mana ijtihad ini dalam lembaga ulama bisa mempersempit dan memperkecil perbedaan pendapat.
Untuk menjadi peserta ijtihad jam'i, seseorang memiliki kemampuan tentang studi hukum Islam. Orang dapat dianggap sebagai pakar hukum Islam bila menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman, Al-Ghazali dalam kutipan al-Suyuti berikata, “jika seorang pakar fiqh tidak berkomentar atas masalah yang belum pernah didengarnya seperti komentarnya atas masalah yang didengarnya, maka ia bukan pakar fiqh”.[12] Karena tidak semua umat Islam yang memiliki kompetensi tersebut serta tuntutan zaman memerlukan kehadiran mujtahid, maka hukum ijtihad adlah Fardlu Kifayah,[13] yakni umat terbebas dari tanggungan dosa bila telah orang yang melakukan ijtihad.
Masyarakat modern yang menjunjung tinggi demokratisasi lebih percaya pada keputusan kolektif. Fatwa hukum Islam dari lembaga keagamaan juga lebih dipercaya dibanding fatwa individu. Tidak hanya itu, keputusan hukum yang melibatkan dan mendengarkan pendapat banyak masyarakat dinilai lebih obyektif. Dengan demikian, pengambilan keputusan hukum Islam secara kolektif dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat relevan dengan pemikiran masyarakat modern.[14]
d.        Hukum Islam di Indonesia saat ini
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air misalnya, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai sekaligus ataupun seketika akan tetapi melalui perjalanan yang panjang.
Proses tersebut dilalui sejak ketika jaman kerajaan hingga pada masa sekarang yakni masa eranya demokrasi yang dari barat mulai memasuki negara indonesia. Ketika jatuhnya Soeharto maka genderang kebebasan dan berdemokrasi kembali ditabuhkan. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.[15]
Langkah-langkah pembaharuan itu seperti pada kodifikasi hukum fiqh. Kodifikasi (taqnin) adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor.
Tujuan dari kodifikasi adalah untuk merealisasikan dua tujuan sebagai berikut: Pertama, menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing memberikan keputusan sendiri, tetapi mereka seharusnya sepakat dengan materi undang-undang tertentu, dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan yang kontradiktif. Kedua, memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqh dengan susunan yang sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.[16]

4.      Studi Sejarah Islam
a)    Latar Belakang dan Asal Usul Bangsa Arab
Menurut rumpun bangsa, bangsa Arab merupakan bangsa semit (Samiyah) keturunan Syam bin Nuh yang dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu Arab Baidah dan Arab Baqiyah. Arab Baqiyah terbagi atas Arab Aribah dan Arab Musta’ribah (Muta’arribah).
1.      Arab Ba’diyah, yaitu kaum arab terdahulu atau bangsa Arab kuno yang sudah punah jauh sebelum Islam lahir yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplik. Riwayat mereka tidak banyak diketahui selain yang termaktub dalam kitab-kitab suci agama samawi dan terungkap dalam syair-syair klasik, antara lain kaum Ad, kaum Tsamud, Amaliqah, Yudisa, dan Amien. Mereka inilah yang termasuk rumpun bangsa semit.
2.      Arab Aribah, yaitu kaum Arab yang berasal dari keturunan ya’rub bin Yasyjub bin Qahthan. Arab Aribah merupakan persebaran dari nenek moyang Yamaniyah (yaman) atau yang disebut juga Arab Qahthaniyah. Yang termasuk diantaranya adalah suku Jurhum, Kahlan dan Himyar. Asal usul kelahiran Arab Aribah atau Qahthaniyah adalah Yaman yang kemudian berkembang menjadi beberapa kabilah dan suku, di antara yang terkenal adalah kabilah Himyar (terdiri dari suku Zaid Al-Jumhur, Qadha’ah dan Sakasik) dan kabilah kahlan (terdiri dari suku Hamdan, Anwar, Wathi’, Madzhaj, Kindah, Lakham, Judzam, Uzd, Aus, Khazraj dan anak keturunan Jafnah raja Syam).
3.      Arab Musta’ribah, yaitu merupakan bangsa Ismailiyah atau keturunan Ismail bin Ibrahim yaitu keturunan Ibrahim yang lahir dan besar di makkah. Cikal bakal Arab Musta’ribah adalah ibrahim AS. Mereka juga disebut juga al-Arab al-Adnaniyah karena salah satu keturunan Nabi Ismail bernama Adnan. Keturunan Adnan ini yang melahirkan suku Quraisy.
b)   Zaman Nabi Muhammad SAW (Sejarah Nabi Muhammad SAW)
Muhammad lahir di Makkah, senin 17 Rabi’ul Awal/ 20 April tahun 571 M (Tahun Gajah), termasuk Bani Hasyim, kabilah suku Quraisy. Ayahnya Abdullah bin Abdul Muthalib, ibunya Aminah binti Wahab dari Bani Zuhrah. Beliau diasuh Aminah, ibu kandungnya. Kemudian Tsuaibah Al-Aslamiyah, Khaulah binti Almundzir, Halimah Assa’diyah, dan Ummu Aiman. Usia 6 tahun diasuh kakeknya, Abdul Muthalib. Selanjutnya pamannya, Abu Thalib. Ketika 12 tahun pergi ke Syam dengan pamannya, bertemu pendeta Bahira yang melihat tanda-tanda kenabian. Muhammad dijuluki al-amin yang artinya dapat dipercaya. Menikah dengan Khadijah, dikaruniai enam orang anak: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum, dan Fatimah.
Ciri khas kehidupan Nabi Muhammad pada periode Madinah adalah turunnya Al-Quran dengan surat-surat yang panjang, luas cakupannya, mengandung hukum-hukum agama seperti shalat, zakat puasa, pernikahan, perceraian, perlakuan terhadap budak, tahanan perang dan musuh. Meskipun Muhammad menjadi Rasul, sebagai pemimpin agama dan negara, tetapi kehidupannya masih sangat sederhana. Rumahnya sangat sederhana dan perilakunya telah mampu membentuk tatanan norma yang diikuti oleh jutaan orang dari komunitas di Madinah inilah kemudian lahir sebuah negara Islam yang lebih besar. Dari perjalanan sejarah nabi, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad mempunyai peran ganda yaitu selain sebagai pemimpin agama juga sebagai pemimpin negara. Hanya sebelas tahun beliau menjadi pemimpin politik. Beliau berhasil menundukkan seluruh jazirah Arab kedalam kekuasaannya.
Setelah Nabi wafat, Empat khalifah awal disebut Khulafa’u al-rasyidin (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Mereka berempat adalahpara sahabat dekat dan kerabat Rasul. Mereka adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Abu Bakar menempati urutan pertama. Ciri khas khulafa’u al-rasyidin adalah teladan kehidupan Nabi masih berpengaruh besar pada sikap dan perilaku pemimpin muslim.
Dalam menghadapi kesulitan negara, khalifah tidak pernah bertindak sendiri, selalu mengutamakan musyawarah 9demokratis). Mereka dipilih secara musyawarah. Mereka tinggal di Madinah , yang juga menjadi pusat pemerintahan mereka, kecuali Ali bin Abi Thalib yang memilih kufah di iraq sebagai ibu kota pemerintahannya. Setelah periode ini kekhalifahan diwariskan secara turun temurun.
1.    Abu Bakar Ash-Shidiq (11-13H/ 632-634 M)
Dengan musyawarah antar kelompok, terpilihlah Abu Bakar dari kelompok muhajirin yang berhasil menduduki kekhalifahan, meskipun ia sudah lanjut usia. Nama aslinya adalah Abullah bin Abi Quhafah at Tamimi. Pada masa jahiliyah bernama Abdul Ka’bah. Kemudian oleh Nabi diganti Abdullah. Para sahabat menyebutnya Abu Bakar karena pagi-pagi betul (paling dini/ paling awal) beliau masuk Islam.
Ia adalah mertua Nabi dan orang yang keempat masuk Islam. Kehidupannya sangat sederhana. Ia bahkan melakukan perjalanan bilak balik dari al-Sunh ke Madinah dan ia tidak menerima gaji sepeserpun dari negara. Semua urusan agama diselesaikan di serambi Masjid Nabi. Ia dikenal dengan sebutan al-Shiddiq (yang percaya) karena segera membenarkan Rasul dalam berbagai peristiwa terutama Isra’ Mi’raj. Ia memiliki watak yang kuat, jujur dan dinamis, berperawakan sedang, berwajah mungil dan berkulit cerah. Istilah khalifah Rasul Allah (penerus rasulullah) dinisbatkan kepada kepada Abu Bakar. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar yang singkat yaitu dua tahun (632-634M) tepatnya 2 tahun 3 bulan 11 hari, banyak terjadi peperangan riddah (perang melawan pembelotan dan kemurtadan).
Jazirah Arab diluar Hijaz yang tadinya merupakan daerah kekuasaan Nabi, menyatakan keluar dan memisahkan diri. Suku-suku di Yaman, Oman, dan Yamamah tidak mau membayar zakat ke Madinah. Alasan penolakan mereka antara lain wafatnya nabi menjadikan batalnya perjanjian dan kecemburuan terhadap hegemoni Hijaz.
2.    Umar bin Khattab (13-23 H/ 634-644)
Setelah Abu Bakar meninggal dunia pada tahun 634 M, kepemimpinan diganti oleh Umar bin Khattab. Beliau adalah anak dari Nufail al Quraisy dari suku Bani Adi. Tidak jauh berbeda dengan Abu Bakar, Umar juga bergaya hidup sederhana dan hemat, selain itu ia juga energik dan berbakat, berperawakan tinggi, kuat, dan agak botak. Ia mencari penghidupan dengan cara berdagang. Ia dikenal dengan wataknya yang terpuji, saleh, adil dan sederhana.
Umar dipilih secara musyawarah antara Abu  Bakar yang sakit (ajalnya sudah dekat) dengan para sahabat. Kemudian Umar dibaiat sebagai khalifah, dan ia memperkenalkan istilah Amir al-Muminin (komondan orang-orang yang beriman). Ia menggunakan gelar khalifah khalifah Rasul Allah (penerus penerus Rasulullah). Umar membentuk dewan formatur yang beranggotakan enam orang yaitu Ali bin Abi Thalib, Usman bin ‘Affan, Zubair bin ‘Awwam, Thalhah bin Abdullah, Sa’ad bin Abi Waqash, dan Abdurrahman bin ‘Auf.
Umar memerintah selama sepuluh tahun enam bulan empat hari (13-23H/ 634-644 M). Ia meninggal akibat dibunuh oleh seorang budak kristen dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah ketika shalat subuh berjamaah di masjid Nabawi. Khalifah yang dalam terluka membentuk syura (komisi pemilih) yang akan memilih pemilih penerus kekhalifahannya. Beliau wafat setelah tiga hari penikaman, 1 muharam 23 H/ 644M.
3.    Usman bin ‘Affan (23-35 H/644-654 M)
Setelah masa pemerintahan Umar berkhir, enam orang sahabat kemudian bermusyawarah yaitu Usman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqas, dan Abdurrahman bin ‘Auf. Mereka menunjuk Usman sebagai khalifah pengganti Umar. Beliau bernama Usman bin ‘Aggan bin Abil Ash bin Umaiyah.
Usman merupakan sosok yang saleh, mulia dan bijak meskipun sudah tua renta tetapi ia terlalu lemah untuk menolak tuntutan kerabat dekatnya. Berbagai jabatan penting diisi oleh suku Umayyah, keluarga khalifah. Senioritas kesukuan menjadi penentu berbeda dari pendahulunya yang dari kalangan Muajirin.
4.    Ali bin Abi Thalib (35-40 H/ 656-661)
Setelah Usman bin Affan meninggal, kekhalifahan diganti oleh Ali bin Abi Thalib bin Abdil Muthalib. Ia dibaiat secara beramai-ramai oleh masyarakat. Ali diangkat sebagai khalifah keempat di Masjid Nabawi Madinah pada  24 juni 656 M. Ia merupakan sepupu Nabi Muhamad, dan suami dari anak Nabi  yaitu fatimah yang melahirkan Hasan dan Husein. Wataknya ramah, bersahabat, shaleh, dan pemberani. pemerintahanAli bin Abu Thalib berlangsung selama 6  tahun (35-40 H/655-660M). Langkah pertama yang dilakukan adalah memindahkan pusat pemerintahannya ke kufah.
Ali meyakini bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena keteledoran pemerintahan yang ada pada pemerintahan Usman, terutama keluarga-keluarganya. Segera ia memecat para gubernur yang diangkat oleh usman dan mengirim kepala daerah yang baru yang menggantikan. Dia menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk (keluarga dan kerabat Usman) dengan jalan yang tidak sah dan melaksanakan kembali sistem pajak sebagaimana yang pernah diterapkan Umar diantara umat Islam.

Menurut Harun Nasution dalam Muhaimin (2011), secara garis besar sejarah (budaya) Islam terbagi menjadi 3 periode, yaitu: periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M), dan periode modern (1800 M-sekarang). Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam segala aspek Islam menjadi yang terdepan pada periode klasik, terutama dalam bidang pendidikan. Banyak ilmuwan dan pemikir-pemikir besar yang dilahirkan Islam pada periode klasik. Hal ini tidak terlepas dari semangat untuk mempelajari serta mengamalkan Al-Quran dan Hadits itu sendiri, keinginan yang kuat untuk terus menimba dan mengembangkan ilmu pengetahuan, serta kesinambungan antara ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya menjadikan umat Islam sangat unggul dalam periode klasik.
Periode pertengahan merupakan periode yang cukup kelam bagi perkembangan dunia Islam khususnya dalam bidang pendidikan. Dalam periode ini Islam menjadi sangat tertinggal dari dunia barat yang ironisnya kemajuan yang diraih dunia barat bersumber dari apa yang telah dicapai Islam sebelumnya.
Semua menjadi terbalik bagi umat Islam, tidak banyak ulama yang berani untuk mengembangkan keilmuannya, umat Islam menjadi terkotak-kotak, kebergantungan yang kuat terhadap pemimpin negara menjadikan Islam sedemikian tertinggal dan asing terhadap ilmu serta teknologi yang sejatinya bersumber pada dunia Islam.
Angin perubahan dan pengembalian Islam ke zaman keemasannya telah banyak dikumandangkan. Telah banyak bermunculan kembali ulama-ulama yang tidak hanya berkutat pada disiplin ilmu keagamaan tetapi juga ikut turut serta mengembangkan ilmu-ilmu lainnya. Namun kembali, nampaknya periode 3 yang didefinisikan sebagai periode modern ini masih banyak menimbulkan perdebatan. Kekhawatiran terbesar mucul dari anggapan modernisasi yang dilakukan nantinya akan membawa umat Islam kedalam dunia westernisasi dan sekulerisme.
Namun bagaimanapun, modernisasi mutlak diperlukan, tidak dalam artian membawa umat Islam ke dalam gaya hidup dan cara pandang barat tetapi modernisasi secara teknis di lapangan. Harus diakui apa yang kita hadapi saat ini sangat berbeda dengan dua zaman sebelumnya, tantangan akan semakin berat mengingat kerterbukaan yang secara nyata dihadapi umat Islam sekarang ini. Akan sangat tidak mungkin rasanya jika kita sebagai umat Islam masih menggunakan metode ataupun teknik-teknik terdahulu. Di sinilah pentingnya perubahan (modernisasi) yang harus dilakukan umat Islam, tentunya tidak terlepas dari landasan Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan landasan bagi umat Islam di zaman keemasannya.[17]

III.    KESIMPULAN
Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Al Qur’an dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran sebagai alat untuk memahami Al Qur’an dan Al-Sunnah. Dalam Ulumul Qur’an mencakup ilmu-ilmu bahasa Arab dan segala kajian yang berkaitan dengan ajaran Islam. Bahkan As Sayuthi berpendapat, bahwa ilmu jiwa, ilmu falak, ilmu astronomi, dan lain sebagainya juga termasuk Ulumul Qur’an. Hal itu didasarkan kepada firman Allah yakni QS. An Nahl: 89.
Penerapan hukum Islam yang terjadi pada masa sahabat lain dengan sekarang, baik dilihat dari kondisi maupun dalam penerapannya. Semakin luasnya negara kekuasaan Islam menjadi salah satu alasan dalam berkembangnya kedinamisan hukum Islam itu sendiri menyesuaikan dengan kondisi sosial yang ada pada bangsa negara tersebut. Hal  ini menunjukan bahwa hukum Islam itui sendiri tidak bersifat baku akan tetapi selalu dinamis.
Menurut Harun Nasution dalam Muhaimin (2011), secara garis besar sejarah (budaya) Islam terbagi menjadi 3 periode, yaitu: periode klasik (650-1250 M), periode pertengahan (1250-1800 M), dan periode modern (1800 M-sekarang).

IV.    PENUTUPAN
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayat, serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Kami menyadari penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata “sempurna”. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan penyusunan makalah yang lebih baik lagi. Semoga uraian-uraian yang kami sampaikan dapat bermanfaat bagi kami dan para pembaca. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hidayat, Karakteristik Pendidikan Islam; Sebuah Pengantar Terhadap Pendidikan Islam, disampaikan dalam perkuliahan Landasan Pendidikan Islam Magister Teknologi Pendidikan Universitas Islam As-Syafiiyah, Jakarta, 2011.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam.
Al-Suyuti, Jalal al-Din, Tafsir al Ijtihad, Mekkah: al Maktabah al- Tijariyyah, 1982.
Anderson, Benendict, komunitas-komunitas imajiner: renungan tentang asal usul dan penyebaran Nasionalisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, At Tibyan Fi Ulum Al Qur’an, Jakarta: Dinamika Berkah Utama.
Ashshiddiqie, Jimly, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000.
Az Zarkasyi Bin Abdullah, Badarudin Muhammad, Al Burhan Fi ‘Ulum Al Qur’an, Beirut: Dar Jayl, 1988.
Az Zarquni, Manahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al Qur’an, Baerut: Dar Al Fikr, 1988.
Gibb, H.A.R., Aliran-aliran Modern dalam Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1995.
Hasbi A.S, Teungku Muhammad, Ilmu-ilmu Al Qur’an; Sejarah Perkembangan Ilmu Al Qur’an, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002.
Hasan Kholil, Rasyad, Dr., Tarikh Tasyri: Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2009.
J. Coulson, Noel, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: P3M, 1987.
Kholil, Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri: Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Amzah, 2009.
Tim penyusun MKD IAIN sunan ampel, Studi Hukum Islam, Surabaya: IAIN SA Pers, 2011.
Yusuf, Kadar M., Studi Al Qur’an; Mengenali Ulumul Qur’an, Jakarta: Amzah, 2009.


[1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Hal. 87-88
[2]  Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Hal. 77
[3] Kadar M. Yusuf, Studi Al qur’an; Mengenali Ulumul Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2009), Hal. 1
[4] Teungku Muhammad Hasbi A.S, Ilmu-ilmu Al qur’an; Sejarah Perkembangan Ilmu Al qur’an, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), Hal. 1
[5] Muhammad Ali Ash-Shabuni, At Tibyan Fi Ulum Al Qur’an, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, tth), hal. 6
[6] Az Zarquni, Manahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al Qur’an, Jilid I, (Baerut : Dar Al Fikr, 1988), Hal. 127
[7] Az Zarquni, Manahil Al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al Qur’an, Jilid I, (Baerut : Dar Al Fikr, 1988), Hal. 2
[8] Badarudin Muhammad Az Zarkasyi Bin Abdullah. Al Burhan Fi ‘Ulum Al Qur’an, Jilid I, (Beirut: Dar Jayl, 1988), Hal. 17
[9] Benendict Anderson, komunitas-komunitas imajiner: renungan tentang asal usul dan penyebaran Nasionalisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), Hal. 13-40
[10] H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), Hal. 146
[11] Noel, J. Coulson, Hukum Islam dalam perspektif sejarah, (Jakarta: P3M, 1987), Hal. 188-189
[12] Jalal al-Din al-Suyuti, Tafsir al ijtihad (Mekkah: al Maktabah al- Tijariyyah, 1982), Hal. 38
[13] Jalal al-Din al-Suyuti, Tafsir al ijtihad (Mekkah: al Maktabah al- Tijariyyah, 1982), Hal. 21-25
[14] Tim penyusun MKD IAIN sunan ampel, Studi Hukum Islam, (Surabaya: IAIN SA Pers, 2011), Hal. 153-164
[15] Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, (Jakarta, 27 September 2000).
[16] Dr. Rasyad Hasan Kholil, Tarikh Tasyri: sejarah legislasi Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), Hal. 134-135
[17] Hidayat Abdullah, Karakteristik Pendidikan Islam; Sebuah Pengantar Terhadap Pendidikan Islam, disampaikan dalam perkuliahan Landasan Pendidikan Islam Magister Teknologi Pendidikan Universitas Islam As-Syafiiyah, (Jakarta, 2011).